Contoh Resensi Buku Fiksi Buku Kumpulan Cerpen





Mandi Api potret masyarakat Bali dalam Goncangan sosio-kultural

Identitas buku:
1.      Judul buku                  : Mandi Api
2.      Pengarang                   : Gde Aryantha Soethama
3.      Penerbit                       : Kompas
4.      Tahun terbit                 : 2006
5.      Jumlah halaman           : vi+170 halaman

Buku kumpulan cerpen Mandi Api terdiri atas 21 cerita. Cerpen yang mengisahkan tentang pergolakan yang terjadi diantara warga Bali para sesepuh dan remaja karena pengaruh derasnya arus pariwisata yang pelan-pelan membuat budaya setempat hilang. Karya sastra yang menggambarkan budaya suatu suku memang menarik, apalagi dikemas dengan apik dan sesuai dengan konsumsi pembaca. Gde Aryantha Soethama tidak menentang arus perubahan yang terjadi di Bali, tapi ia mengungkapkan bahwa bukan hanya janji sebuah kemakmuran tetapi dibalik itu juga ada segudang persoalan yang menunjukkan Bali berada dipersimpangan jalan.

Gde Aryantha Soethama merupakan seorang penulisjuga wartawan yang aktif menulis cerita pendek, laporan perjalanan, dan karya jurnalistik. Ia juga telah menulis sejumlah buku dan novel. Cerpen-cerpennya banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, bahkan dua cerpennya terpilih sebagai cerpen pilihan kompas (1993 dan 1994).

Cerpen pertama, berjudul “Tembok Puri” yang berisi tentang Kadek Sumetri merupakan orang biasa yang menikah dengan orang puri Anak Agung Ngurah Parwata. Meskipun melewati proses yang penuh pertimbangan pernikahan tersebut berlangsung meriah, Kadek Sumetri menerima menjadi orang puri karena sekarang puri lebih modern dan aturannya tidak terlalu mengikat. Keluarga Kadek semakin dihormati semenjak Kadek menjadi bangsawan puri, tapi puri tetaplah puri yang memiliki aturan dengan tembok sebagai pembatas. Saat keluarga Kadek akan melangsungkan upacara metatah, acara potong gigi khusus untuk Kadek dan saudara-saudaranya. Kadek seharusnya metatah dirumahnya, tapi sekarang ia bangsawan puri maka ia meminta izin terlebih dahulu pada sesepuh puri. Mereka merestui dengan syarat : Kadek harus metatah di balai-balai khusus terpisah dari saudara-saudaranya. Ayahnya menolak keras syarat itu karena berhubungan dengan harga diri keluarga. Suaminya tetapi menyuruh ia metatah di balai-balai khusus jika tidak terpaksa mereka harus bercerai. Dalam kebimbangan itu Kadek Sumetri bingung memutuskan yang mana hingga timbul niatan agar dia metatah saat sudah wafat. Maka, dihari upacara metatah tiba suami Kadek mengantarnya kerumah orang tuanya. Kadek tak bisa menjadi wanita yang dikucilkan apalagi  menjanda dalam usianya yang masih muda, tapi orang tua Kadek mengerti dan menerima keputusan Kadek. Tepat saat matahari terbit tiga saudara Kadek metatah di bale dangin yang terbuka dengan sangging yang menggosok gigi mereka dengan kikir satu-persatu. Kadek melihat itu dibalik jendela kaca diruang tengah, Kadek sedih tapi tak ada yang tahu bagaimana hatinya yang perih seperti diiris sembilu.

      Cerpen kedua, berjudul “Anak Saya Perlu Makan” yang menceritakan kisah Rukmini seorang yang tekena garis nasib malang tapi jujur. Rukmini berusaha menghidupi dirinya dan anaknya dengan mencoba melamar kerja disebuah bank melalui teman lamanya, Joko tapi ternyata karyawan baru di bank itu menyogok maka Rukmini juga harus menyogok. Uang tabungan Rp. 1 juta ia relakan untuk nyogok, Rukmini harus melewati hal ini karena ia terjebak rayuan lelaki beristri yang baru diketahui Rukmini setelah ia hamil tiga bulan, mereka kawin tapi Rukmini mengatakan ingin cerai kepada orang tuanya. Jadilah sekarang Rukmini menanggung beban hidupnya dan anaknya. Direktur bank itu mengincar Rukmini, karena Rukmini hanya memikirkan anaknya yang harus makan maka ia terima ajakan direktur itu untuk kencan, Joko sempat terkejut tapi mulai paham setelah tahu alsannya. Rukmini menunggu di pantai Sanur tempat yang dijanjikan, direktur itu lalu membawa Rukmini kerumahnya mengantarnya bukan mengajaknya kencan hanya ingin memastikan bahwa ia akan memiliki karyawan yang jujur.

Cerpen ketiga, berjudul “Ibu Guru Anakku” menceritakan seorang ayah yang mengambil cuti agar bisa mengantar-jemput anaknya di taman kanak-kanak (TK). Anak tersebut selalu diantar keluar oleh gurunya bersama ank-anak lain, bu Rahayu namanya orang Purwokerto yang pergi ke Bali untuk dapat kerja dihotel keinginannya dan keluarga. Dalam keadaannya yang sulit ia terpaksa berbohong telah mendapat pekerjaan dihotel tapi, ia mendapat kabar kalau ibunya sakit keras dan butuh biaya berobat. Ia datang kerumah pria tersebut dan meminjam uang, ia diberi Rp. 75 ribu, setelah itu dia mengundurkan diri dari TK tersebut. Sampai suatu hari ia datang lagi kerumah lelaki itu dan ia pamit akan pergi ke Lombok karena mendapat info tentang lowongan kerja disana. Betapa gigihnya perjuangan bu Rahayu untuk mendapatkan pekerjaan itu.

      Cerpen keempat, berjudul “Sekarang Dia Bangsawan” menceritakan seorang anak kecil bernama Wayan Kerug yang ditemukan peneliti hama digubuk reyotnya sendiri ditinggal mati ibu dan neneknya, sedangkan ayahnya, Ketut Linggih memilih menikah lagi dan meninggalkan mereka. Namanya berubah menjadi Akihiro Maeda, oleh orang tua angkatny diberi tanggung jawab mengelola penginapan dan restoran dikawasan wisata Dorono Sato, Jepang Tenggara. Maeda mencoba mencari informasi tentang ayahnya yang ternyata seorang pengusaha wisata arung jeram di Sungai Ayung tapi dengan nama Gusti Agung Linggih. Maeda pergi ke Bali bersama rombongannya orang Amerika, yang menerima tur arung jeram yang disambut Gusti Agung Linggih. Maeda bertanya pada pemandu wisata asal usul Gusti Agung Linggih, yang ternyata benar ia adalah ayahnya, tapi Maeda tidak merasakan getaran apapun saat bertemu dengan ayahnya, saat mengijakkan kaki ditanah kelahirannya. Mungkin ia merasa dilupakan, dicampakkan dari tanah kelahirannya, sampai ayahnya tidak menyadari Maeda adalah Wayan Kerug anak yang pernah ditinggalkannya yang sekarang menjadi pengusaha seperti dirinya di negeri orang. Maeda sendiri berpikir bahwa Wayan Kerug sudah mati bersama kenangan tentang tanah kelahirannya yang lenyap tak berbekas.

Cerpen kelima, berjudul “Terompong Beruk” menceritakan kisah pilu Mangku Rajeg yang berusaha memelihara satu-satunya budaya dari Bangle, tapi gagal. Sebagai peninggalan budaya yang bersejarah terompong beruk akan dipentaskan dalam Pesta Kesenian Bali, awalnya terompong beruk hampir punah, karena wisatawan tidak tertarik melihat terompong beruk di Bangle. Tapi kesempatan ini membuat warga Bangle bangga memiliki terompong beruk tersebut, tentu yang paling bangga adalah Mangku Rajeg yang merupakan pemangku terompong beruk ia bahkan membayangkan pasti banyak sekali penonton yang menonton mereka. Tapi, harapan tinggal harapan hanya segelintir orang yang menonton mereka, satu persatu mereka pergi hanya tersisa lima turis Australia. Tapi naas, saat Mangku Rajeg keluar berpikir untuk segera pulang ia malah mendapat kabar dari Ketut Wijil salah satu muridnya bahwa mereka telah menjual terompong beruk tersebut kepada lima turis Australia sebesar Rp. 15 juta untuk koleksi museum mereka. Sontak saja hal itu membuat Mangku Rajeg terkejut dan sedih, Ia bahkan merasa dewa batara telah meninggalkannya.

Cerpen keenam, berjudul “Arloji Sumiani” bercerita tentang seorang lelaki Bali karyawan salah satu penerbit yang sering ke Solo menghadiri rapat kerja Koran Masuk Desa. Sumiani sering menjadi guide-nya, suatu ketika lelaki itu menghadiahkan Sumiani jam tangan. Sumiani menerimanya dengan girang karena ia bersedih karena tiga bulan lagi ia akan kawin, lelaki itu tidak menghadiri pernikahan Sumiani. Suatu ketika jam itu dikembalikan lewat pos paket karena suami Sumiani selalu curiga akan jam tangan tersebut, lalu jam tangan itu disimpan di bagian belakang almari. Maya, istri lelaki tersebut sedang butuh jam karena jam nya rusak, tapi ia meminta jam yang mahal ia masih belum bisa membelikan maka dari itu lelaki itu memberikan jam tangan Sumiani kepada istrinya.Dia ceritakan semuanya, istrinya menyukai jam tangan tersebut, kini Sumiani menjadi istri bos nya telah memiliki jam tangan yang lebih bagus. Tapi, keberadaan jam itu membuat lelaki itu gelisah maka,dimalam hari saat istrinya terlelap ia bakar jam tangan itu agar tak berjejak.

Cerpen ketujuh, berjudul “Pelayat” menceritakan kisah seorang istri yang ditinggal suaminya mati muda, tentu saja ia sedih ditambah lagi semua pelayat menanyakan alasan kematian suaminya. Ia akan merasa sedih karena mengingat hal itu, tapi pelayat itu tak ada yang mau mengerti mereka tetap menanyakan penyebab kematian suaminya. Tapi sama sekali tak ada yang peduli dengan kelangsungan hidupnya dan ketiga anaknya. Sampai suatu ketika datang lagi dua orang pelayat, yang ternyata lelaki tersebut teman suaminya yang dulu pernah dibantu suaminya menggerakkan usaha percetakan. Karena kegigihan mereka, usaha tersebut mulai bergerak tapi suaminya memilih menjadi PNS karena anaknya sudah mulai sekolah. Lelaki itu memberikan bantuan berupa deposito, memberi mereka kuasa mengambil bunganya sebesar seratus ribu.

Cerpen kedelapan, berjudul “Seekor Ayam Panggang” menceritakan dua remaja Bali yang lama tinggal di Semarang tapi ke Bali karena ada acara odalan di sanggah keluarga. Mereka memang tidak begitu mengerti tentang adat Bali, maka setelah ayam panggang dihaturkan kepada Hyang Widhi, merasa telah menjad lungsuran mereka mengambil dan menyantapnya diam-diam. Tentu saja hal itu membuat tante Nyoman panik, Putu Darmika anak tertua keluarga itu dengan geram memutuskan akan mengadakan upacara macaru dengan persiapan penuh dan biaya sebesar Rp. 3 juta. Toma dan Dedi takut maka mereka lapor kepada ayah mereka, Ketut Lasia. Ketut lasia berusaha bicara dengan kakaknya Putu Darmika, tapi memang dasarnya kaku Putu Darmika tetap ingin upacara tersebut dilakukan dan karena itu ulah anak Ketut Lasia, maka seluruh biaya ditanggung Ketut Lasia. Ketut Lasia berpikir upacara itu hanya buang-buang tenaga dan uang karena kesalahan remaja yang tak tahu ayam panggang bisa bernilai tiga juta di Bali.

Cerpen kesembilan, berjudul “Mandi Api” menceritakan sebuah desa yang indah dimana memiliki potensi alam yang melimpah, memang tidak semakmur desa sebelah. Tapi desa tersebut mulai dapat mengambil peluang untuk menarik turis agar pergi kedesa mereka. Karena kekayaan alam yang melimpah itulah desa tersebut dilirik oleh pengusaha kaya untuk membangun hotel disana, warga desa merasa senang hanya Durma yang menentang karena ia sadar hal itu hanya akan membuat desa mereka meninggalkan kebudayaan dan mengurangi keindahan desa mereka. Segala macam cara dilakukan, sampai pada saat peresmian Durma pura-pura kesurupan dia berteriak dan berlagak seperti orang kesurupan. Tapi tradisi disana untuk membuktikan orang kesurupan adalah dengan membakar mereka dengan api suci, kalau tidak terbakar maka segala permintaannya akan dipenuhi karena dianggap sebagai perintah Tuhan. Tapi jika berbohong maka mereka akan terbakar. Segala sesuatu sudah siap, Durma sebentar lagi akan dilempar kedalam api, tapi ternyata pendeta malah kesurupan, ia dilempar kedalam api dan memakan segala bara api didalamnya, tentu saja karena ia benar-benar kesurupan.
Share:

0 komentar:

Post a Comment

Sosial Media

Hai! Nama saya Agung Prasetyo N dan biasa di panggil Agung. Saya masih seorang pelajar di SMA. Saya berasal dari Boyolali. Read More..

Total Pageviews

Blog Archive

Entri Terbaru